Strategi Juara FPL 2024/25: Rahasia Lovro Budisin Bangun Tim Tanpa Haaland

Dalam musim Fantasy Premier League (FPL) 2024/25 yang penuh kejutan, nama Lovro Budisin, manajer asal Kroasia, muncul sebagai juara dengan strategi yang tidak biasa. Tanpa Haaland di skuadnya sejak Gameweek 1, Budisin membuktikan bahwa kemenangan tidak selalu harus dibangun di atas nama besar. Pendekatannya yang berani, berbasis analisis nilai pemain dan distribusi anggaran yang efisien, menjadikannya teladan baru dalam komunitas manajer FPL.
Memilih Salah, Bukan Haaland
Saat sebagian besar manajer memilih Erling Haaland sebagai fondasi utama tim, Budisin justru membangun sekitarnya dengan Mohamed Salah, yang memulai musim dengan harga £12.5 juta — lebih murah £2.5 juta dibanding Haaland. Dengan dana yang lebih fleksibel, ia mampu merekrut pemain premium lainnya seperti Son Heung-min dan Bruno Fernandes, menciptakan skuad yang lebih seimbang.
“Kalau saya pilih dua pemain termahal sekaligus, sisanya jadi sangat lemah. Saya lebih suka ambil Salah dan bisa tambah pemain premium lain di posisi gelandang,” jelas Budisin.
Kapten Cerdas, Poin Maksimal
Keputusan Budisin terbukti jitu sejak awal. Salah mencetak 28 poin sebagai kapten di GW1 kontra Ipswich Town dan 34 poin di GW3 saat melawan Manchester United. Di GW2, giliran Son Heung-min yang ditunjuk sebagai kapten dan membalas kepercayaan dengan torehan 32 poin saat melawan Everton. Pendekatan rotasi kapten berdasarkan lawan dan form inilah yang memberi keunggulan kompetitif besar di awal musim.
Menghindari “Trap” Musiman
Meski Cole Palmer dari Chelsea menjadi top scorer FPL musim 2023/24, Budisin tidak tergoda untuk memasukkannya ke dalam tim. Kenaikan harga drastis dari £5.0 juta menjadi £10.5 juta dan ketidakpastian peran setelah transfer musim panas membuat Palmer terlalu berisiko. Budisin menekankan pentingnya melihat musim sebagai entitas yang unik, bukan sekadar melanjutkan tren musim sebelumnya.
Nilai Terbaik di Lini Depan
Alih-alih bergantung pada satu striker mahal, Budisin mengincar kombinasi nilai terbaik. Ia memilih Alexander Isak (Newcastle) dan Chris Wood (Nottingham Forest) yang secara kolektif hanya menghabiskan £14.5 juta—lebih murah dari satu Haaland. Hasilnya? Keduanya menutup musim sebagai penyerang dengan total poin tertinggi.
Selain itu, Lovro memanfaatkan pemain diferensial seperti Phil Foden antara Gameweek 18 hingga 23, yang memberikan kontribusi signifikan pada poin timnya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keberanian untuk berbeda dari mayoritas manajer bisa menjadi kunci sukses.
Manajemen Chip: Menahan Diri untuk Momentum Akhir
Hingga pekan ke-26, Lovro belum menggunakan chip seperti Triple Captain, Bench Boost, Wildcard kedua, dan Free Hit. Ia hanya memanfaatkan fitur AssMan (Assistant Manager), dengan memilih manajer seperti Arne Slot dan Oliver Glasner. Pendekatan konservatif ini memberinya fleksibilitas maksimal untuk menghadapi fase akhir musim.
Salah satu momen penting adalah ketika Lovro mengganti AssMan ke Glasner satu menit sebelum batas waktu transfer. Meskipun kontroversial, keputusan ini tidak memberikan keuntungan informasi tambahan, karena risiko tetap sama sebelum dan sesudah batas waktu. Keberanian dan kepercayaan diri Lovro dalam mengambil keputusan ini menunjukkan ketajaman strateginya.
Kalender & Rotasi: Faktor Kunci
Jadwal pertandingan adalah salah satu aspek yang paling diperhatikan Budisin. Ia menganalisis fixture dengan cermat untuk menentukan pemain utama dan cadangan yang punya peluang poin besar di tiap pekan. Pemilihan Son sebagai kapten di GW2 misalnya, didasarkan pada kelemahan Everton dalam menahan serangan dari lini tengah. Pemain cadangan juga bukan sembarang tempelan—mereka dipilih karena rotasi jadwal yang menguntungkan dan potensi poin saat dibutuhkan.
Adaptasi Sepanjang Musim
Keberhasilan Budisin tidak hanya ditentukan oleh Gameweek 1, tapi juga kemampuan beradaptasi seiring waktu. Ia aktif memantau form pemain, cedera, dan rotasi, serta memanfaatkan transfer mingguan untuk menyegarkan skuad. Baginya, fleksibilitas adalah kunci. “Musim FPL selalu bukan tentang sprint, tapi maraton. Kita harus bisa berubah saat data dan performa mengisyaratkan,” ungkapnya. Transfer yang tepat waktu dan berdasar analisis membuatnya terhindar dari jebakan umum manajer FPL—bertahan terlalu lama dengan pemain underperforming.
Pelajaran dari Lovro Budišin
Lovro menunjukkan bahwa keyakinan pada insting dan konsistensi dalam strategi dapat mengalahkan pendekatan konvensional. Dengan tidak tergoda untuk mengikuti tren populer dan tetap pada rencananya, ia berhasil mencapai puncak klasemen.
Kisah Lovro Budišin mengajarkan bahwa dalam FPL, keberanian untuk berbeda, kepercayaan pada insting, dan manajemen strategi yang cermat dapat membawa kesuksesan. Pendekatan uniknya membuktikan bahwa tidak ada satu formula pasti untuk menang, dan inovasi bisa menjadi kunci utama.